Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengabarkan, “Aku sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala datang seorang lelaki dari kalangan Anshar. Ia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Ya Rasulullah, mukmin manakah yang paling utama?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’
‘Mukmin manakah yang paling cerdas?’, tanya lelaki itu lagi. Beliau menjawab:
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا، أُولَئِكَ أَكْيَاسٌ
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1384)
Inilah klasifikasi yang digolongkan sebagai orang cerdas, orang jenius, orang pandai. Maknanya sangat dalam dan keluar dari batas-batas klasifikasi yang dibuat manusia hingga kini.
Bagaimanapun kecerdasan masih menjadi standar dalam kehidupan modern ini. Di sekolah, di tempat kerja di dalam lingkungan sekeliling kita semua berlomba untuk cerdas dalam fisika, matematika, sains, biologi, bahasa Inggris bahkan piano dan gitar. Semua untuk memupuk kecerdasar otak manusia dan juga seni.
Pancaindera dimanjakan untuk dijadikan tolok ukur orang yang cerdas, orang yang hebat. Namun Rasulullah beyond that. Cerdas justru ada hubungan dengan kehidupan setelah kematian. Sungguh agung definisi ini.
Setidaknya ada dua hikmah dari hadits Rasulullah.
Pertama, kecerdasan itu menyangkut soal kemampuan menggunakan akal dalam melihat fakta-fakta dan persoalan. Dengan membandingkan waktu kehidupan dunia yang singkat dan terbatas ini dibandingkan dengan kehidupan akhirat yang kekal maka kebahagiaan hakiki harus mempertimbangkan keadaan di masa depan. Secara manusiawi memang manusia menginginkan sesuatu dalam jumlah besar, lebih kaya, lebih panjang umurnya, lebih berbahagia atau memiliki kelebihan-kelebihan fisik dan intelektual. Namun manakala dia mampu melakukan perbandingan berdasarkan akalnya semata antara dunia dan akhirat, maka dia sudah melakukan keputusan jenius. Akal bisa mengatakan lebih baik memilih hidup di akhirat bahagia daripada melanggar ketentuan di dunia -misalnya korupsi, membunuh, menyakiti orang lain – untuk kebahagiaan sekilas. Inilah keputusan orang cerdas, memilih yang lebih besar, lebih luas, lebih kekal dan lebih membahagiakan.